Anak Terdidik

Menyorot pendidikan anak, tentu tidak akan lepas dari menyorot masalah pembiayaannya. Pendanaan adalah risiko pertama yang harus diambil oleh orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya dengan bayaran kualitas yang baik. Kualitas tentunya akan menjadi pertimbangan utama karena akan berimplikasi pada prospek ke depan, baik untuk kerja ataupun untuk meneruskan sekolah.

Kenyataan menunjukkan bahwa orang tua cenderung tidak memusingkan urusan pendidikan anak. Apapun bisa, bahkan untuk di sekolah unggulan. Mereka, para orang tua, hanya perlu sedikit mengantar, memberi support, dan memberi uang saku. Namun ternyata kenyataan itu hanya berlaku ketika si anak berada pada jenjang sekolah dasar hingga lanjutan atas. Selebihnya? Mereka pusing!

Bahkan ada yang dengan sangat terpaksa merumahkan anaknya sendiri. Tak ada biaya, dalih mereka. Alasan yang klasik. Namun, ada juga yang punya semangat tinggi, bertekad tetap akan menyekolahkan anaknya, apapun yang terjadi. Tetapi, dengan melihat kondisi, bahwa mesti dicarikan sekolah dengan biaya pendidikan yang ’terjangkau’.

Terjangkau itu relatif. Masalahnya adalah bagaimana cara yang digunakan untuk menjangkau itu. Dengan cash-flow yang sekarang sepertinya tidak mungkin. Makanya, perlu digunakan alternatif lain untuk  menjangkaunya. Sebagaian orang tidak ingin ambil pusing. Mereka tidak segan menjual tanah, tanpa berpikir lagi adakah alternatif lain untuk lebih membuat tanah yang mau dijual itu lebih produktif.

Kadang juga mereka menjual rumah tanpa tahu jika suatu saat rumah itu akan sangat berguna. Tetapi, semuanya itu tentu saja didasari oleh pemikiran, yang biasanya memang didominasi oleh kepala keluarga.

Sebagai anak yang hendak memasuki bangku pendidikan yang lebih tinggi, yakni bangku kuliah, tentunya harus bisa menunjukkan bahwa dia memang telah terdidik. Dengan kedewasaannya, dia tidak akan menyusahkan orang tuanya. Dia dapat juga mengupayakan kegiatan-kegiatan proaktif untuk meringankan beban pendidikannya sendiri.

Sebagai contoh, si anak bisa mencari beasiswa. Informasi banyak sekali tersedia, tinggal bagaimana kesungguhan si anak untuk mencapai hal itu. Selain beasiswa, anak juga bisa mencari alternatif pendidikan di sekolah-sekolah yang memang tidak mensyaratkan biaya besar, bahkan tanpa biaya! Itu biasanya bisa didapat melalui sekolah-sekolah kedinasan. Bisa juga si anak mencari kerja sambilan. Akan tetapi, semuanya ini pada umumnya hanya dilakukan oleh anak-anak yang betul-betul terdidik. Itulah anak-anak yang luar biasa dan biasanya kelak mereka akan menjadi orang yang luar biasa.

Sebagai orang tua yang baik, membantu anak adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Mengingat sang anak sudah dewasa—orang tua tentu tahu sejauh mana kedewasaan si anak—perlu kiranya mereka diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri. Situasi paling ideal adalah adanya musyawarah dalam keluarga itu.

Hal yang perlu dipahami oleh para orang tua adalah bahwa setiap generasi ada zamannya masing-masing. Tentu saja masa muda orang tua berbeda dengan masa muda anak-anaknya. Kalau dulu tidak harus tahu komputer, sekarang harus. Kalau dulu sekolah bisa nyeker, sekarang tidak boleh. Kalau dulu presiden boleh lulusan SMA, sekarang tidak boleh, mesti sarjana.

Berbincang tentang presiden jika dikaitkan dengan pendidikan, tentu pada saat kita tidak menyekolahkan anak sampai sarjana, artinya sama dengan kita menutup peluang anak kita jadi presiden. Padahal, siapa tahu anak kita memiliki bakat kepemimpinan yang dahsyat yang baru terlihat ketika ia duduk di bangku kuliah.

Sukses membiayai anak bukan berarti pekerjaan selesai. Yang tidak kalah penting adalah bahwa orang tua harus memberikan bimbingan dan kontrol untuk anak. Ini berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagaimana anaknya kelak tentu ada campur tangan dari orang tua, meski dia bukan pendidik akademiknya. Sekali lagi, ada fungsi pendidikan yang tak kalah pentingnya, yakni pendidik emosi dan spiritualnya.

Anak sebaiknya didampingi saat dalam menghadapi masalah, meski hanya doa yang mendampingi. Secara psikologis, sang anak akan merasakan kekuatan dukungan dari orang tuanya. Hal ini tentu saja akan berakibat positif bagi kedewasaan anak.

Orang tua adalah orang pertama yang akan merasakan kebahagiaan ketika melihat anaknya sukses. Kesuksesan itu bisa tecermin dari pancaran muka si anak. Bisa juga dari kesaksian orang-orang yang berada di sekitar anaknya, yang tidak lain adalah teman-teman si anak. Kenyataan ini muncul karena pada dasarnya orang tualah yang berjasa menjadikan anak-anaknya terdidik. Jadi, keberhasilan anak tidak lain adalah keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya. Itulah mengapa doa anak terdidik akan senantiasa mengalir meski orang tuanya sudah di alam lain. Seseorang tak akan menuai kecuali apa yang dia tanam, bukan?

Kolonodale, 10 April 2007

Pos ini dipublikasikan di Catatan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.